Bahasa: Media Kerja Kepenyuluhan
Oleh: Muhamad Nurdin
PAIF Kec. Tebet
PAIF Kec. Tebet
Pertemuan Bulanan PAIF Jaksel di KUA Kebayoran Baru Rabu 08 Maret 2017 |
Perang antara Rusia melawan Jepang di
selat Tsushima pada tahun 1904-1905 menjadi sebuah frame penting sejarah awal
abad 20 yang memberikan pelajaran pada dunia bahwa kekalahan Rusia atas Jepang bukan
semata karena teknologi persenjataan,Jepang lebih baik dari mereka. Sebab
menurut Geoffrey Jukes, penulis The Russo-Japanese War 1904-1905, penentu hasil
perang ketika itu adalah tingkat literasi. Hanya 20 persen personel militer
Rusia bisa membaca dan menulis. Akibatnya, banyak yang tidak mampu
mengoperasikan secara benar persenjataan modern dan sistem telegraf nirkabel
yang diimpor dari Jerman. Serangan Rusia sering salah sasaran karena salah
membaca peta dan salah mengoperasikan jaringan komunikasi. Sebaliknya, hampir
semua tentara Jepang tahu membaca dan menulis, bahkan mereka juga sudah mampu
memodifikasi sistem telegraf dari Jerman.[1]
Pada abad 21 ini, terutama saat
“Lebaran Kuda” turut memanaskan perang verbal antara penganut bumi datar dan
bumi bulat, apa urgensi literasi bagi Penyuluh Agama Islam Fungsional yang notabene merupakan ujung tombak Kementerian
Agama?
B. Pembahasan
Merujuk pada keputusan
Menkowasbangpan No.54/Kep.Waspan/9/99, Penyuluh Agama Islam adalah Pegawai
Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab,wewenang dan hak secara penuh
oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan bimbingan atau penyuluhan agama
Islam dan pembangunan melalui bahasa agama. Keputusan ini menjadi legitimasi
bagi keberadaan Penyuluh Agama Islam Fungsional (PAIF) dengan tupoksi utama,
melaksanakan dan mengembangkan kegiatan bimbingan/penyuluhan agama dan
pembangunan melalui bahasa agama. Singkat kata, pengetahuan PAIF terhadap
bahasa agama merupakan keniscayaan dalam menjalankan tupoksinya di tengah umat.
Sejak pertama kali diturunkan melalui risalah nubuwwah
Muhammad di wilayah semenanjung Arab, Islam sebagai agama adalah universal
serta tidak terikat oleh kualitas ruang dan waktu. Manifestasi Kalamullah dalam
bentuk al-Qur’an yang diwahyukan kepada Muhammad ketika merespon persoalan
waktu itu adalah cara Tuhan mengkomunikasikan ajaran Islam kepada umat manusia
agar dapat digunakan untuk menjalankan fungsi kekhalifahnnya menciptakan Islam
rahmatan li al-`alamin. Al-Qur’an yang dikomunikasikan dengan bahasa Arab dan kemudian oleh para sahabat Nabi
dibukukan menjadi teks tulisan Arab adalah rujukan kitab hukum utama pedoman
umat Islam menyelesaikan persoalan hidupnya. Sampai saat ini atau lebih dari
empat belas abad lamanya, al-Qur’an yang ditransfer oleh para sahabat secara mutawatir bahkan disertai dengan kawalan
janji Tuhan, tidak pernah mengalami perubahan walau untuk satu
huruf pun. Umat Islam masih bisa menemukan ayat yang menjelaskan tentang
bagaimana onta diciptakan (al-Ghasyiyah: 17). Ayat dengan kesan “partikular” ini sesungguhnya
memperlihatkan betapa preferensi Tuhan menggunakan simbol lokal Arab, yakni
onta binatang khas negeri itu adalah alat
pendekatan yang dijadikan sebagai sarana untuk menjelaskan universalitas ajaran
Islam. Bila ayat ini dipahami secara tersurat, maka orang-orang di Indonesia harus
mengeluarkan biaya cukup besar sekadar untuk mengetahui apa
dan bagaimana kehidupan onta
itu. Tetapi bila dipahami semangat ayat, cukuplah ayam
kampung sebagai sarana untuk mengetahui bagaimana binatang itu
diciptakan. Dalam hal ini, Tuhan seolah-olah ingin mengajarkan kepada para
mahluk-Nya “di mana bumi dipijak, di situ
langit dijunjung” sebagai sebuah model pendekatan yang terbukti efektif memperkenalkan ajaran
Islam sehingga ia tidak menjadi asing di tengah kehidupan bangsa Arab.[2]
Keberadaan al-Qur’an dengan bentuk wujudnya seperti
sekarang ini adalah dokumen sejarah yang mengunci sifat universalitas
Kalamullah dalam kualitas ruang dan waktu.[3]
Oleh Karena itu pemahaman terhadap al-Qur’an secara tekstual atau apa adanya
dengan mengabaikan asbab al-nuzul, maqashid al-syari`ah serta bahasa yang
dipergunakannya, dapat dikategorikan sebagai upaya menarik mundur perjalanan
sejarah. Bahkan hal itu bisa juga diterjemahkan sebagai upaya untuk mereduksi
universalitas ajaran agama Islam menjadi sekedar budaya Arab atau menjadikan
budaya Arab sebagai agama Islam. Urgensi manusia terhadap keberadaan ilmu
sejarah, filsafat hukum dan bahasa yang berguna untuk mengungkap tabir sekat
ruang dan waktu sudah tidak dapat ditunda lagi. Hal ini mutlak dilakukan agar
manusia terhindar dari kesalahan ketika memahami informasi al-Qur’an. Demikian juga
terhadap hadits-hadits Nabi yang pada saat itu secara otoritatif menjelaskan
keuniversalan ayat-ayat al-Qur’an. Walaupun demikian harus pula disadari bahwa
hasil akhir dari upaya pemahaman manusia ini nantinya hanya terbatas pada
penafsiran yang bersifat relatif.[4]
Pada saat Adam manusia pertama diciptakan, bahasa atau
secara umum dikonsepsikan al-Qur’an dengan al-asma’a sebagai simbol dan
perlambang pengetahuan ajaran Tuhan merupakan sarana ilmiah yang paling efektif
bagi perkembangan sejarah kehidupan umat manusia. Bahkan bekal kemampuan untuk
memahami bahasa atau al-asma’a tersebut menjadi alasan Tuhan menempatkan
manusia lebih tinggi derajatnya dari mala’ikat dan iblis. Sehingga Tuhan
berkenan mengamanatkan atau mendelegasikan kekuasaan kepada manusia untuk
menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Kekuasaan kehalifahan yang sempat diprotes
mala’ikat dan menjadi sebab kekafiran iblis kepada Tuhan semata-mata diberikan
karena melalui bahasa atau al-asma’a itu pula manusia mampu memahami realitas
ciptaan Tuhan sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya.[5]
Dalam kehidupan sehari-hari, apapun yang dilihat dan
ditemukan manusia di jagad raya ini sebenarnya merupakan hamparan
al-asmaa. Alam serta fenomena kehidupan di atasnya harus dibaca
atau diperhatikan untuk dipahami, ditafsirkan dan kemudian dinilai. Dahulu, ketika Nabi Muhammad melihat kehidupan penduduk Makkah
yang serba hedonis dan kapitalistik, Beliau diminta oleh
Tuhan untuk membaca realitas
kehidupan sosial masyarakat sekitarnya saat itu. Dakwah Rasulullah agar orang
mau meninggalkan permusuhan antar suku maupun perbudakan antar manusia dengan
inti ajaran ketauhidan adalah cara dan sikap Rasul memahami, manafsirkan dan
menilai serta mengoreksi ketidak-benaran realitas “bacaan” kehidupan
kapitalistik masyarakat Makkah. Oleh sebab itu, persoalan penting dari sekedar
membaca adalah pencarian akan makna kebenaran dan kemudian diikuti dengan
tindakan dalam mengartikulasikannya. Ketika memberikan kata pengantar buku
terjemahan karya Gregory Baum, Amin Abdullah sependapat dengan pemikiran
ekstrim Baum bahwa kebenaran tidak lagi bermain dalam area salah atau benar.
Melainkan sampai sejauh mana artikulasi kebenaran itu sanggup mengentaskan umat
manusia dari ketertindasan dan lingkaran ideologis yang sempit dan penuh dengan
permusuhan.[6]
Apa yang menjadi pemikiran Baum tentang kebenaran tidak
lagi bermain pada wilayah salah dan benar tidak sepenuhnya bisa diterima. Sebab
bisa jadi penilaian Baum lebih didasari oleh karena massifnya penggunaan bahasa
untuk memanipulasi term salah dan benar dengan cara melakukan pembenaran atau
melegitimasi kepentingan ideologi tertentu dan bukan pada makna hakiki
kebenaran itu sendiri. Dalam sejarah kehidupan umat manusia, hal seperti ini
memang sering terjadi. Lihatlah jargon state and nation yang telah
memberikan legitimasi kebenaran bahwa kepentingan negara-bangsa Indonesia
berbeda dengan kepentingan negara-bangsa Malaysia. Sehingga tidak aneh bila
pemerintah Malaysia pada tahun 2002 lalu mengusir TKI dari negaranya. Tidak
aneh pula bila kelaparan di negara-negara benua Afrika dianggap sebagai urusan
pemerintah setempat, serta masih banyak lagi daftar kepentingan atas nama
negara-bangsa yang memasung hakikat makna salah dan benar di tengah kehidupan
manusia. Definisi negara-bangsa berdasarkan wilayah teritorial dan politik
telah mereduksi kepentingan manusia hanya sebagai bangsa suatu negara dan bukan
manusia sebagai manusia.
Hal yang sama dapat juga diketemukan dalam kehidupan
ekonomi. Prinsip ekonomi “sekecil-kecilnya untuk mendapatkan
sebesar-besarnya” seakan memberi legitimasi kebenaran bahwa maksimalisasi
keuntungan adalah faktor utama mengapa manusia berekonomi. Atas dasar itu, tak
heran bila seorang pengusaha seringkali mengeksploitasi buruhnya dengan cara
menekan upah seminimal mungkin demi untuk mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya. Propaganda liberalisasi ekonomi dengan “pasar bebas” adalah
contoh menarik betapa penggunaan bahasa telah berhasil memanipulasi kebenaran
untuk menutupi realitas ketidakberdayaan manusia yang -bukan atas kehendaknya-
dilahirkan dan hidup di negara dunia ketiga. Pada kasus-kasus tersebut,
pengaruh bahasa ternyata dapat lebih berbahaya dan mematikan bagi umat manusia
bila dibandingkan dengan senjata.
Berdasarkan realitas contoh kehidupan politik dan ekonomi
di atas, bagaimanapun juga rumusan benar dan salah secara formil harus tetap
ada. Terutama sebagai standar penilaian keadilan jangka pendek manusia terhadap
keberadaan hukum yang dibutuhkan untuk mengatur serta menjamin hak dan
kewajiban atau martabat seorang manusia. Tidak dapat dibayangkan bagaimana
jadinya bila hukum sebagai sebuah peraturan bagi umat manusia dibuat tanpa ada
kualitas nilai salah dan benar. Apakah keadilan akan tercapai hanya dengan
melihat tujuan dari konsep salah dan benar? Bukankah untuk sampai pada
poin tersebut manusia harus terlebih dahulu melalui jalur formalisasi salah dan
benar dalam bentuk hukum yang menjamin adanya kepastian hak serta kewajiban
manusia demi kemaslahatan hidup bersama?
Hanya karena setiap orang memiliki perbedaan konsep dalam
memandang benar salahnya suatu persoalan, maka langkah yang harus ditempuh
kemudian adalah konsensus atau usaha untuk menggagas konsep benar dan salah
secara sosiologis atas dasar keadilan dengan mengedepankan kepentingan bersama
umat manusia. Hal ini berarti bahwa rumusan tentang benar dan salah dalam
bentuk hukum harus diupayakan semaksimal mungkin guna mengantisipasi persoalan
riil umat manusia. Tetapi harus pula diingat bahwa rumusan benar dan salah
untuk jangka pendek atau bunyi hukum yang mengatur tentang boleh
tidaknya suatu perbuatan manusia, harus dibuat dengan memperhatikan tujuan
jangka panjang atau idealisme hukum yang tidak lain ditujukan demi
kesejahteraan hidup umat manusia. Ringkasnya, bunyi hukum mengenai benar dan
salah tidak boleh tidak ada. Tetapi
sekalipun demikian, bunyi hukum tidak boleh dibuat atas dasar idealisme
hukum yang hanya berpihak pada kepentingan segelintir manusia.
Menurut
ajaran Islam, al-Qur’an menduduki peran sentral sebagai sumber pengetahuan yang
kebenarannya telah dijamin oleh Tuhan dan merupakan buku petunjuk bagi orang
bertaqwa. Pesan-pesan moral serta nilai sosial kemasyarakatan di dalamnya
mempunyai makna signifikan lebih dari sekedar aspek legal formal yang biasa
diilustrasikan dalam bentuk simbol-simbol keagamaan. Sebab pada masa diturunkan
dahulu, al-Qur’an merupakan wujud respon
Tuhan terhadap kejadian atau persoalan sosial ketika itu. Hanya saja perlu
disadari, karena al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad sebagai penutup
peran keNabian sebelumnya, maka keberadaan simbol
al-Qur’an ketika merespon kejadian saat itu serta idealisme peruntukan al-Qur’an bagi seluruh umat manusia tanpa
ikatan ruang dan waktu adalah realitas
unik yang harus dipahami oleh manusia secara utuh. Terutama bila dilihat
dari uslub atau gaya bahasa dengan kualitas balaghahnya.
Berkaitan
dengan keunikan uslub al-Qur’an tersebut, dalam terminologi ilmu hukum dikenal
dua segi penafsiran yang berhubungan erat dengan isi hukum yaitu tersurat dan
tersirat atau bunyi hukum dan semangat hukum.
Seandainya kedudukan al-Qur’an dengan seluruh legalitas formal hukum di
dalamnya dapat disebut sebagai kitab hukum, maka simbol al-Qur’an menempati posisi tersurat atau bunyi hukum.
Sedangkan posisi tersirat atau semangat hukum ada pada idealisme al-Qur’an. Sebagaimana juga ilmu hukum, keberadaan simbol
dan idealisme al-Qur’an dalam ajaran Islam pun mengalami perdebatan serius
dikalangan ulama. Hal ini dapat dilihat dari munculnya berbagai macam model
penafsiran terhadap al-Qur’an, seperti tafsir bi al-riwayah (bi al-ma’tsur)
dan tafsir bi al-dirayah (bi al-ra’yi dan bi al-isyari). Pada pembahasan
filsafat hermeneutika, penggunaan bahasa yang sering menimbulkan perdebatan
memang bukan persoalan baru. Mengingat bahasa merupakan sebuah ekspresi.
Apalagi bila bahasa yang diperdebatkan adalah bahasa dari suatu kitab suci
agama. Oleh sebab itu, persoalan penting dari eksistensi bahasa adalah
bagaimana seseorang dapat memahami bahasa tersebut dengan tepat (subtilitas intellegendi) dan sekaligus
menjabarkannya dengan benar (subtilitas
explicandi).[7]
Salah satu penggunaan simbol al-Qur’an yang paling
mendasar adalah bahasa Arab sebagai media utama penyampaian wahyu Tuhan (Q.S. Yusuf:
2). Tentang mengapa dan kenapa harus berbahasa Arab barangkali sambil guyon
bisa dijawab, karena al-Qur’an diturunkan ditengah kehidupan bangsa Arab.
Tetapi untuk menjawab dan mengetahui secara serius kelebihan bahasa Arab yang
digunakan al-Qur’an bagi kehidupan sosial umat manusia sebagaimana pesan dalam
ujung ayat surat Yusuf di atas, mungkin sangat sulit untuk dilakukan. Meskipun
jutaan kepala ahli fiqih yang notabene fasih berbahasa Arab telah berupaya
semaksimal mungkin mengupayakannya sejak beberapa abad silam. Perbedaan
pendapat mereka menyangkut pesan-pesan moral ketuhanan dalam al-Qur’an sehingga
melahirkan banyak ragam mazhab pemikiran adalah bukti betapa sulitnya memahami
bahasa Arab al-Qur’an. Bahkan tak urung hal itu terjadi semata-mata karena
perbedaan mereka saat memaknai satu huruf pada sebuah ayat. Tidak aneh bila
seorang profesor sekaliber Quraish Shihab ketika menyingkap tabir Ilahi melalui
pemahaman terhadap Asma-Nya memohon ampun terlebih dahulu kepada Tuhan karena
khawatir akan berbuat salah. Alasannya tidak lain adalah sulitnya mencari
padanan kosakata al-Qur’an pada bahasa lain. Kalaupun bisa, hal itu hanya
bersifat nisbi sekedar untuk membantu memahami makna sesungguhnya.[8]
Hal seperti inilah yang kemudian juga menjadi sebab mengapa kitab suci al-Qur’an
selalu ditulis menurut bahasa aslinya. Sebab terjemahan al-Qur’an disamping
tidak dapat lagi disebut al-Qur’an juga dikhawatirkan dapat merubah makna
al-Qur’an itu sendiri.
Simbol-simbol
lain yang juga tidak kalah penting untuk dipahami manusia adalah redaksi
kalimat Tuhan ketika merespon suatu kejadian atau memerintahkan kepada para
hamba-Nya untuk melakukan maupun melarang suatu perbuatan. Entah melalui
terminologi amar-nahy dengan segala bentuk sighat dan derivasi maknanya
maupun dengan penggunaan simbol halal-haram. Demikian pula pembagian kalam
khabar-kalam insya’, majaz-kinayah, `am-khas, mujmal-mufashal, muhkamat-mutasyabihat
adalah beberapa contoh penggunaan simbol yang mutlak harus dapat dipahami
oleh manusia jika ingin sungguh-sungguh mendapatkan kebenaran informasi
terhadap maksud dari isi kandungan pesan-pesan moral al-Qur’an.
Lima ayat pertama surat al-`Alaq yang diterima Rasulullah
sebagai wahyu pertama di gua Hira mungkin dapat dijadikan sebagai ilustrasi
untuk mengetahui bagaimana awal mulanya bahasa al-Qur’an diperkenalkan kepada
umat manusia, terutama ketika merespon realitas persoalan hidup di antara
mereka. Pada ayat-ayat tersebut Allah SWT berfirman:
Artinya:
“Bacalah (ya Muhammad) dengan nama Tuhanmu
yang telah menciptakan. Telah menciptakan manusia dari segumpah darah. Bacalah
dan Tuhanmu amat pemurah. Yang mengajarkan manusia dengan pena. Yang
mengajarkan manusia apa-apa yang tidak diketahuinya”.
Sebagaimana terlihat di atas, ayat tersebut dimulai Allah dengan
mempergunakan lafazh iqra’’
dalam shighat
(bentuk) fi`il amar (kata kerja perintah) untuk
waqe’ (posisi) mufrad mudzakar mukhathab (orang pertama laki-laki tunggal) yang berasal dari lafazh qara-a dan
biasa diterjemahkan dengan “bacalah”. Menurut kamus al-Munjid, selain bermakna
melafalkan sebuah tulisan, lafazh qara-a-yaqra’u-qur’an
dapat juga bermakna thala`a atau
meneliti sebuah tulisan. Pengertian meneliti pada lafazh qara-a dapat diperluas lagi maknanya dengan melihat bentuk (shighat) lafazh qara-a
lain yang mendapat huruf imbuhan (huruf
ziyadah) berupa alif, sin dan ta’
menjadi kata istaqra’a. Pola kata
kerja dasar dengan tambahan huruf sehingga menjadi kata berimbuhan ini menurut
para ahli sharaf dapat merubah makna kata dasar qara-a menjadi makna thalabiyah
atau permintaan, yakni permintaan untuk meneliti. Dari bentuk terakhir ini
kemudian lahir lafazh “istiqra” yang dipergunakan oleh para ahli mantiq
(logika) sebagai suatu istilah untuk membuat suatu kesimpulan terhadap hasil
sebuah penelitian.[9]
Kajian mengenai makna lafazh iqra’ bila dikonfirmasikan
dengan konteks pewahyuan sebagaimana dialami oleh Rasulullah SAW di gua Hira,
yakni ketika tokoh-tokoh kafir Quraisy menjadikan kekayaan dan kekuasaan
sebagai status quo yang menyebabkan keberadaan seseorang hanya diukur
berdasarkan tingkat kekayaan dan kekuasaan, maka dengan sendirinya lafazh iqra’
cenderung bermakna penelitian. Kesimpulan ini juga didukung oleh data faktual
bahwa pada saat itu Rasulullah tidak menerima wahyu dalam bentuk teks tertulis.
Oleh sebab itu, perintah Allah SWT pada lafazh iqra’ berarti perintah untuk “membaca realitas” kehidupan
kapitalistik kaum kafir Quraisy yang tidak mencerminkan keadilan sosial dan
menjadi pokok pangkal tumbuhnya sistem perbudakan serta peperangan antar suku.
Bila umat Islam mau merujuk pada sejarah pewahyuan ini, maka sesungguhnya
ajaran Islam itu dimulai dengan iqra’ demi mengasah kepekaan dan
kemampuan untuk menyelesaikan problematika sosial di sekeliling mereka. Tentu
saja guna mencapai maksud tersebut dibutuhkan usaha pemberdayaan diri secara
maksimal. Dalam konteks ini, kewajiban mencari ilmu bagi setiap umat Islam
menemukan
format dan tujuan idealnya.
Seperti banyak diceritakan dalam sejarah Islam, proses
belajar Muhammad dimulai dan dibentuk selama beliau berkhalwat di gua Hira.
Terutama setelah turunnya wahyu pertama yang memintanya untuk tidak saja aktif
mengamati realitas kehidupan masyarakat kapitalistik Makkah tetapi juga
dituntut untuk dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada. Hal ini
dapat dibuktikan melalui pemahaman terhadap pesan moral pada wahyu berikutnya.
Dimana Muhammad kemudian diperintahkan untuk bangun dan memberi peringatan (qum
fa-‘andzir). Dengan demikian, jawaban Muhammad “ma ana bi-qari’in”
terhadap perintah “iqra’” sebenarnya
merupakan wujud kesadaran bahwa beliau tidak dalam kapasitas sebagai qari’ atau
dalam hal ini peneliti dengan segala kualifikasi ilmu pengetahuan tentang kriteria atau ukuran obyektif
untuk menilai sistem sosial
masyarakat Makkah yang dibangun atas dasar kekayaan dan kekuasaan sehingga
menimbulkan permusuhan antar suku serta perbudakan manusia. Namun demikian,
setelah tiga kali Rasulullah mengatakan bahwa dirinya bukanlah seorang qari’
atau seorang peneliti, barulah Jibril sebagai mala’ikat pembawa wahyu
memberikan jaminan bahwa Tuhan akan memberikan bimbingan dan ajaran bagi Rasulullah
untuk menilai apa yang tidak diketahuinya berdasarkan kriteria Tuhan,
sebagaimana tercermin dalam ayat 4-5 surat al-`Alaq tersebut. Menurut tinjauan
filsafat, apa yang dialami Rasulullah kala itu sebenarnya merupakan ilustrasi
metode ilmiah dari epistemologi ajaran Islam dalam menilai sekaligus memberikan
solusi setiap persoalan sosial masyarakat dan sangat erat hubungannya dengan
makna pendidikan.[10]
Berkaitan dengan proses penilaian suatu obyek penelitian
sebagaimana diajarkan Tuhan kepada Muhammad ketika meneliti penggunaan harta
kekayaan dan kekuasaan kaum kafir Quraisy saat mengatur sistem kehidupan sosial
ekonomi masyarakat Makkah, apa yang disampaikan oleh Nana Sudjana mengenai arti
penilaian mungkin dapat menjelaskan
betapa pentingnya kriteria obyektif penilaian bagi sebuah penelitian.
Menurutnya:
“Ditinjau
dari sudut bahasa, penilaian diartikan sebagai proses menentukan nilai suatu
obyek. Untuk dapat menentukan suatu nilai atau harga suatu obyek diperlukan
adanya ukuran atau kriteria. Misalnya untuk dapat mengatakan baik, sedang,
kurang, diperlukan adanya ketentuan atau ukuran yang jelas bagaimana yang baik,
yang sedang, dan yang kurang. Ukuran itulah yang dinamakan kriteria. Dari
pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa ciri penilaian adalah adanya obyek
atau program yang dinilai dan adanya kriteria sebagai dasar untuk membandingkan
antara kenyataan atau apa adanya dengan kriteria atau apa seharusnya”.[11]
Dengan demikian, masih menurut Nana Sudjana, inti penilaian adalah proses
memberikan atau menentukan nilai kepada obyek tertentu berdasarkan kriteria
tertentu. Proses pemberian nilai ini berlangsung dalam bentuk interpretasi dan diakhiri dengan judgment.[12]
Hanya saja perlu ditekankan di sini bahwa penilaian Rasulullah terhadap
realitas tidaklah sama dengan interpretasi manusia yang sangat mungkin
terkontaminasi oleh kepentingan politik dan ekonomi sesaat atau hawa nafsu. Hal
ini sesuai dengan Firman Tuhan:
Artinya:
“Tiadalah ia berbicara menurut hawa nafsunya. Ia (al-Qur’an) tidak lain,
hanya wahyu yang diwahyukan kepadanya”.
Karena itu interpretasi dan juga judgement manusia untuk menilai realitas
kehidupannya tidaklah berlaku mutlak. Melainkan terbatas oleh ketentuan kriteria hukum Tuhan melalui wahyu-Nya
kepada Rasulullah sebagai satu-satunya Dzat yang memiliki otoritas kebenaran mutlak dalam menilai dan memutuskan benar tidaknya suatu
perbuatan.
C. Penutup
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan berbantahlah dengan mereka melalui cara yang baik” (QS:
An-Nahl ayat 125)
[2] Termasuk hal yang paling
fundamental dalam persoalan ini adalah penggunaan lafadz Jalalah Allah sebagai nama bagi Tuhan yang
diambil dari sebutan orang Arab jahiliyah kepada tuhan-tuhannya. Walaupun
kemudian keberadaan “Allah” ini
dipertegas pada surat al-Ikhlas, setidaknya hal tersebut memperlihatkan bahwa
Allah menggunakan simbol-simbol yang ada pada saat itu sebagai alat untuk memperkenalkan
ajaran Islâm di tengah bangsa Arab jahiliyah.
[3] Hal ini pula yang membuat
Mohammed Arkoun mau “bersusah payah”
untuk menjelaskan bahwa keberadaan Mushaf Utsmani sesungguhnya tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh kebekuan ideologis dan teologis yang sangat terikat
oleh ruang dan waktu sejarah sosial umat manusia. Dalam ucapan yang penulis
kutip dari artikel St. Sunardi “Membaca
Qur’an bersama Mohammed Arkoun” yang dinukil dari “Explorations and Responses: New Perspektives for a
Jewish-Cristian-Muslim Dialogue” Arkoun menyatakan: “This is extremely important: it refers to many historical facts
depending on social and political agents, not on God”. Johan Hendrik Meuleman, (ed), Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme, (Yogyakarta: LKiS, 1996),
hal. 63-64.
[4] Ketika
mengomentari perihal penafsiran manusia yang bersifat relatif terhadap klaim
keuniversalan al-Qur’ân yang melewati batas ruang dan waktu, Komarudin Hidayat
berpendapat, “perlu ditekankan kembali di
sini, relativisme tidak berarti nihilisme dan kesewenang-wenangan dalam
memahami al-Qur’ân, melainkan lebih bersifat positif, karena relativisme
berarti juga terpeliharanya suasana dinamis, demokratis, dan dialogis dalam
memahami dan menggagas makna serta spirit al-Qur’ân”. Komaruddin Hidayat, Op.cit.,
hal. 214.
[5]
Peryataan ini dikembangkan dari sûrat al-Baqarah ayat 30-34 berkaitan dengan
penciptaan dan pengangkatan Adam sebagai khalîfah di muka bumi.
[6] Gregory
Baum, Agama dalam Bayang-bayang Relativisme, terj. Ahmad Murtajib dan Mashury
Arow, (Yogyakarta: Tiara Wacana dan Sisipus, 1999), hal. xxiii
[7] E.
Sumaryono, Hermeneutik sebuah Metode
Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hal. 23-33.
[8] M.
Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi: Asma al-Husna dalam Perspektif
al-Qur’ân, (Jakarta: Lentera Hati, 1998), hal. vii - x.
[9] Lois
Ma`luf, al-Munjid Fî al-Lughah wa
al-a‘lâm, (Bierut:Daar al-Masyriq, 1986), hal. 616-617.
[10] Dalam
hal ini, Jujun dengan mengutip pendapat Ritchie Calder mengungkapkan bahwa
proses kegiatan ilmiah dimulai ketika manusia mengamati suatu obyek empirik.
Pengamatan ini biasanya dilakukan oleh manusia karena ia mempunyai perhatian
dengan obyek tertentu yang menurut John Dewey menjadi sebuah kesukaran bila
dalam pengamatan tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan. Jujun S. Suriasumantri,
Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hal. 121.
[11] DR.
Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses
Belajar Mengajar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), cet. Kelima, hal. 3.
[12] I b I d.
0 comments
Posting Komentar
Tulis Komentar Anda Disini :