ASSALAMU'ALAIKUM WR. WB. SELAMAT DATANG DI WEBSITE KELOMPOK KERJA PENYULUH KANTOR DEPARTEMEN AGAMA KOTA JAKARTA SELATAN !!!

PROBLEMATIKA PSYKOLOGIS PENYULUH DAN SOLUSINYA

08 Maret 2017

PROBLEMATIKA PSIKOLOGIS PENYULUH DAN SOLUSIMYA
Oleh : Nana Ali Syahbana
PAIF Kec. Pasar Minggu 
 
Pertemuan Bulanan PAIF Jaksel di Mesjid Ittihad Kemenag Jaksel Rabu 8 Februari 2017
I.                   PENDAHULUAN

Dakwah adalah ajakan yang mengharuskan pelakunya untuk dapat meyakinkan orang yang diajak agar mengikuti apa –apa yang diinginkan oleh pelaku. Hal ini memiliki metode sendiri agar ajakan tersebut dapat diterima dan diikuti oleh orang yang diajak.
 Islam sebagai agama dakwah menitikberatkan ajakan tersebut dengan sangat halus dan penuh kasih sayang, tentunya dengan tidak menafikan ketegasan di dalamnya. Setting sejarah banyak bercerita tentanghal ini, betapa banyak problematika yang dihadapi Rasulullah saw dalam mendakwahkan agama Allah ini. Sejak periode Mekkah sampai periode Madinah, dilanjutkan dengan masa generasi sahabat, thabi’in  dan seterusnya menghasilkan maha karya yang indah dalam bingkai sejarah kehidupan anak manusia yaitu dengan keberhasilan Islam hingga ke era sekarang ini dan seterusnya.
Tekhnik pelaksanaaan dakwahpun berkembang seiring perkembangan zaman, budaya dan tekhnologi, dari yang klasik sampai yang modern, dari pengajian lekaran sampai seminar-seminar dan lain-lain. Majelis Ta’lim yang menjadi tonggak risalah ilahiyahpun sebagai media dakwah yang peranannya sudah mulai dimarginalkan, padahal Majelis-majelis Ta’lim yang mencerdaskan seluruh komponen masyarakat. Mengapa hal ini bisa terjadi?. Hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh strategi penyampaian dakwah itu sendiri. Apa dan bagaimana strategi dakwah Rasulullah Saw, sehingga keberhasilan dakwahnya dengan waktu yang amat singkat dapat menjadikan Islam sebagai agama yang mendunia? Tentunya dengan dipandu oleh Al-Qur’an menjadikan dakwah Rasulullah Saw sebagai acuan bagi Penyuluh dalam mengembangkan kemampuan dan kreasi dalam pendekatan atau strategi yang dilakukan kepada masyarakat atau ummat pada saat ini.  Oleh karena itu salah satu persoalan yang ingin kami angkat adalah problematika psikologis Penyuluh dan solusinya.



II.                DEFINISI PENYULUH

Aktifitas dakwah pada hakikatnya adalah menyampaikan materi dakwah (mengajak, mengajar, mendengarkan dan sebagainya) kepada objeknya untuk mencapai tujuan. Sedangkan materi dakwah itu selalu bersifat religius (psychis), maka dalam penyampaiannya memerlukan cara-cara atau strategi yang baik (efektif dan efisien) agar apa yang dismpaikan mudah diterima. Maka dalam penentuan strategi dakwah haruslah diperhatikan dan mempertimbangkan factor tujuan yabg ingin dicapai, kemampuan da’i, metode, objek dakwah dan media dakwah.
Definisi dakwah menurut syekh Ali Mahfuz dalam salah satu kitabnya Bidayatul Mursyidin adalah proses usaha manusia mengajak kepada manusia yang lain untuk kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar yang semuanya bertujuan terwujudnya kebahagiaan manusia baik di dunia maupun di akhirat.

Penyuluh secara bahasa merupakan arti kata dari bahasa Inggris counseling, yang sering diterjemahkan menganjurkan atau menasehatkan.
Penyuluh dalam keputusan Menteri agama, seperti yang termaktub dalam keputusan Menteri Agama Nomor 791 Tahun 1985 adalah: Pembimbing umat beragama dalam rangka pembinaan mental, moral dan ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Penyuluh Agama Islam yaitu pembimbing umat Islam dalam rangka pembinaan mental, moral dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta menjabarkan segala aspek pembangunan melalui Bahasa Agama. Sedangkan dalam keputusan MENKOWASBANG PAN/ No.45/ KP/ MK WASPAN/9/1999 tentang penyuluh agama PNS adalah: Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas dan tanggung jawab dan wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat berwenang untuk melaksanakan penyuluhan agama dan pembangunan Masyarakat melalui bahasa agama.


III.             PROBLEMATIKA PSIKOLOGIS PENYULUH

Sebagai seorang yang diberi tugas, tanggungjawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat berwenang untuk melaksanakan penyulluhan agama dan pembangunan masyarakat melalui bahasa agama, penyuluh haruslah seseorang yang memiliki kemampuan dan semangat melakukan penyuluhan. Kenyataannya  di lapangan dalam melaksanakan tugasnya penyuluh tidak lepas dari masalah masalah yang dihadapi. Masalah-masalah bisa berasal dari dalam diri penyuluh itu sendiri  Masalah adalah ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataaan. Hal ini tentulah menjadi sebuah persoalan yang membutuhkan pemikiran dan jalan keluar agar kegiatan dakwah tetap bisa tetap berlangsung dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan.  Mencermati kegiatan penyuluhan yang telah berlangsung selama ini penulis membagi tipe penyuluh ke dalam empat kategori, yaitu:

1.      Penyuluh yang memiliki kemampuan tetapi kurang semangat dalam melakukan penyuluhan.
2.      Penyuluh yang kurang memiliki kemampuan tetapi semangat dalam melakukan penyuluhan.
3.      Penyuluh yang kurang memiliki kemampuan dan juga kurang semangat
dalam melakukan penyuluhan.
4.      Penyuluh yang memiliki kemampuan dan semangat dalam melakukan penyuluhan.
Kurangnya semangat dan  kurangnya kemampuan adalah problematika psikologis seorang penyuluh. Penyuluh dengan empat kategori di atas di atas harus menjadi perhatian dari setiap penyuluh karena akan mempengaruhi kompetensi yang harusnya dimiliki oleh seorang Aparatur Sipil Negara. Kompetensi itu sebagaimana terdapat dalam buku Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (2002) adalah:
1.     Kompetensi teknis
Kompetensi teknis yaitu kompetensi mengenai bidang yang menjadi tugas pokoknya. Hal tersebut dapat diartikan seorang Penyuluh Agama harus memiliki berbagai kemampuan, seperti membuat perencanaan, tahapan-tahapan kegiatan penyuluhan, serta perangkat pendukung untuk mencapai keberhasilan penyuluhan.
2.      Kompetensi Manajerial
Kompetensi manajerial yaitu kompetensi yang berhubungan dengan berbagai kemampuan manajerial yang dibutuhkan dalam menangani tugas-tugas organisasi. Hal diatas berkaitan dengan konsolidasi dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik antar Penyuluh maupun dengan pimpinan serta lembaga terkait lainnya.


3.      Kompetensi sosial
Kompetensi sosial yaitu kemampuan melakukan komunikasi yang dibutuhkan oleh organisasi dalam melakanakan tugas pokoknya. Seorang Penyuluh Agama  hendaknya juga memiliki kemampuan untuk bersosialisasi dengan berbagai pihak, serta menguasai berbagai method dalam melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat.

4.      Kompetensi Intelektual
Kompetensi Intelektual yaitu kemampuan untuk berfikir secara strategis dengan visi jauh ke depan. Penyuluh Agama juga perlu meningkatkan kemampuan intelektual dengan memperbanyak membaca, menelaah tema-tema yang berkaitan dengan kemasyarakatan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan sebagainya.

IV.       SOLUSI

Berdasarkan uraian di atas penulis menggarisbawahi tiga type penyuluh dengan solusi yang dapat dilakukan:

1.      Penyuluh yang memiliki kemampuan tetapi kurang semangat dalam melakukan penyuluhan.
Dalam proses penyuluhan hal yang tidak kalah penying dari yangl ainnya adalah bagaimana menumbuhkembangkan semangat dalam diri seorang Penyuluh Agama sendiri, yaitu dengan beberapa hal diantaranya dengan kokohkan tekad untuk menjadi seorang pejuang yang berjuang untuk mensyiarkan agama Allah di masyarakat.
Faktor lain yang perlu diperhatikan dalam membangkitkan semangat adalah bahwa yang kita lakukan adalah semata-mata karena Allah SWT, bukan untuk mencari materi saja, dan tumbuhkan rasa percaya diri yang besar sebagai seorang Penyuluh Agama Islam.

2.      Penyuluh yang kurang memiliki kemampuan tetapi semangat dalam melaksanakan penyuluhan.
Bagi seorang Penyuluh yang kurang memiliki kemampuan tetapi semangat dalam melaksanakan Penyuluhan, maka yang bersangkutan perlu untuk meningkatkan kemampuan dirinya, dengan memperbanyak mengikuti pelatihan, pendidikan, kursus-kursus maupun berbagai pengajian yang bermanfaat menambah penguasaan materi dan kemampuan penguasaan methode atau cara yang tepat dalam menyampaikan pesan-pesan agama maupun pembangunan kepada masyarakat yang menjadi obyek penyuluhannya.

3.      Penyuluh yang kurang memiliki kemampuan dan kurang semangat dalam melaksanakan penyuluhan.
Bagi penyuluh dengan persoalan kurang memiliki kemampuan dan kurang semangat dalam melaksanakan tugas penyuluhan hendaknya dapat mencari informasi yang mendukung motivasinya untuk menjalankan tugas sebagai penyuluh. Belajar dari dasar tentang dakwah dan kepenyuluhan sangatlah penting dilakukan. Tanamkan dalam diri bahwa penyuluh adalah sebuah tugas yang membutuhkan ilmu dan keterampilan bukan sekedar jabatan.

V.          PENUTUP

Dari uraian di atas penulis memberikan intisari atau kesimpulan sebagai berikut :
1.      Penyuluh adalah profesi yang mulia yang harus didukung dengan kemampuan keilmuan yang cukup sehingga mampu memberikan hasil yang terbaik dalam melaksanakan tugasnya.
2.      Penyuluh harus senantiasa membengkitkan semangat dalam tugasnya sebagai sebuah perjuangan yang membutuhkan totalitas pengabdian di jalan Allah SWT.
3.      Insitusi atau lembaga yang menaungi Penyuluh agar memberikan berbagai hal yang mendukung keberhasilan tugas Penyuluh, diantaranya pendidikan atau pelatihan, dan penghargaan atau reward serta sarana yang sesuai dengan kebutuhan Penyuluh.















Baca Lebih Lanjut --->>

Bahasa : Media Kerja Kepenyuluhan

Bahasa: Media Kerja Kepenyuluhan
Oleh: Muhamad Nurdin
PAIF Kec. Tebet

A. Pendahuluan
Pokjaluh Jakarta Selatan
Pertemuan Bulanan PAIF Jaksel di KUA Kebayoran Baru Rabu 08 Maret 2017

Perang antara Rusia melawan Jepang di selat Tsushima pada tahun 1904-1905 menjadi sebuah frame penting sejarah awal abad 20 yang memberikan pelajaran pada dunia bahwa kekalahan Rusia atas Jepang bukan semata karena teknologi persenjataan,Jepang lebih baik dari mereka. Sebab menurut Geoffrey Jukes, penulis The Russo-Japanese War 1904-1905, penentu hasil perang ketika itu adalah tingkat literasi. Hanya 20 persen personel militer Rusia bisa membaca dan menulis. Akibatnya, banyak yang tidak mampu mengoperasikan secara benar persenjataan modern dan sistem telegraf nirkabel yang diimpor dari Jerman. Serangan Rusia sering salah sasaran karena salah membaca peta dan salah mengoperasikan jaringan komunikasi. Sebaliknya, hampir semua tentara Jepang tahu membaca dan menulis, bahkan mereka juga sudah mampu memodifikasi sistem telegraf dari Jerman.[1]
Pada abad 21 ini, terutama saat “Lebaran Kuda” turut memanaskan perang verbal antara penganut bumi datar dan bumi bulat, apa urgensi literasi bagi Penyuluh Agama Islam Fungsional yang  notabene merupakan ujung tombak Kementerian Agama?
B. Pembahasan
Merujuk pada keputusan Menkowasbangpan No.54/Kep.Waspan/9/99, Penyuluh Agama Islam adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab,wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan bimbingan atau penyuluhan agama Islam dan pembangunan melalui bahasa agama. Keputusan ini menjadi legitimasi bagi keberadaan Penyuluh Agama Islam Fungsional (PAIF) dengan tupoksi utama, melaksanakan dan mengembangkan kegiatan bimbingan/penyuluhan agama dan pembangunan melalui bahasa agama. Singkat kata, pengetahuan PAIF terhadap bahasa agama merupakan keniscayaan dalam menjalankan tupoksinya di tengah umat.
Sejak pertama kali diturunkan melalui risalah nubuwwah Muhammad di wilayah semenanjung Arab, Islam sebagai agama adalah universal serta tidak terikat oleh kualitas ruang dan waktu. Manifestasi Kalamullah dalam bentuk al-Qur’an yang diwahyukan kepada Muhammad ketika merespon persoalan waktu itu adalah cara Tuhan mengkomunikasikan ajaran Islam kepada umat manusia agar dapat digunakan untuk menjalankan fungsi kekhalifahnnya menciptakan Islam rahmatan li al-`alamin. Al-Qur’an yang dikomunikasikan dengan bahasa Arab dan kemudian oleh para sahabat Nabi dibukukan menjadi teks tulisan Arab adalah rujukan kitab hukum utama pedoman umat Islam menyelesaikan persoalan hidupnya. Sampai saat ini atau lebih dari empat belas abad lamanya, al-Qur’an yang ditransfer oleh para sahabat secara mutawatir bahkan disertai dengan kawalan janji Tuhan, tidak pernah mengalami perubahan walau untuk satu huruf pun. Umat Islam masih bisa menemukan ayat yang menjelaskan tentang bagaimana onta diciptakan (al-Ghasyiyah: 17). Ayat dengan kesan “partikular” ini sesungguhnya memperlihatkan betapa preferensi Tuhan menggunakan simbol lokal Arab, yakni onta binatang khas negeri itu adalah alat pendekatan yang dijadikan sebagai sarana untuk menjelaskan universalitas ajaran Islam. Bila ayat ini dipahami secara tersurat, maka orang-orang di Indonesia harus mengeluarkan biaya cukup besar sekadar untuk mengetahui apa dan bagaimana kehidupan onta itu. Tetapi bila dipahami semangat ayat, cukuplah ayam kampung sebagai sarana untuk mengetahui bagaimana binatang itu diciptakan. Dalam hal ini, Tuhan seolah-olah ingin mengajarkan kepada para mahluk-Nya “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” sebagai sebuah model pendekatan  yang terbukti efektif memperkenalkan ajaran Islam sehingga ia tidak menjadi asing di tengah kehidupan bangsa Arab.[2]
Keberadaan al-Qur’an dengan bentuk wujudnya seperti sekarang ini adalah dokumen sejarah yang mengunci sifat universalitas Kalamullah dalam kualitas ruang dan waktu.[3] Oleh Karena itu pemahaman terhadap al-Qur’an secara tekstual atau apa adanya dengan mengabaikan asbab al-nuzul, maqashid al-syari`ah serta bahasa yang dipergunakannya, dapat dikategorikan sebagai upaya menarik mundur perjalanan sejarah. Bahkan hal itu bisa juga diterjemahkan sebagai upaya untuk mereduksi universalitas ajaran agama Islam menjadi sekedar budaya Arab atau menjadikan budaya Arab sebagai agama Islam. Urgensi manusia terhadap keberadaan ilmu sejarah, filsafat hukum dan bahasa yang berguna untuk mengungkap tabir sekat ruang dan waktu sudah tidak dapat ditunda lagi. Hal ini mutlak dilakukan agar manusia terhindar dari kesalahan ketika memahami informasi al-Qur’an. Demikian juga terhadap hadits-hadits Nabi yang pada saat itu secara otoritatif menjelaskan keuniversalan ayat-ayat al-Qur’an. Walaupun demikian harus pula disadari bahwa hasil akhir dari upaya pemahaman manusia ini nantinya hanya terbatas pada penafsiran yang bersifat relatif.[4]
Pada saat Adam manusia pertama diciptakan, bahasa atau secara umum dikonsepsikan al-Qur’an dengan al-asma’a sebagai simbol dan perlambang pengetahuan ajaran Tuhan merupakan sarana ilmiah yang paling efektif bagi perkembangan sejarah kehidupan umat manusia. Bahkan bekal kemampuan untuk memahami bahasa atau al-asma’a tersebut menjadi alasan Tuhan menempatkan manusia lebih tinggi derajatnya dari mala’ikat dan iblis. Sehingga Tuhan berkenan mengamanatkan atau mendelegasikan kekuasaan kepada manusia untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Kekuasaan kehalifahan yang sempat diprotes mala’ikat dan menjadi sebab kekafiran iblis kepada Tuhan semata-mata diberikan karena melalui bahasa atau al-asma’a itu pula manusia mampu memahami realitas ciptaan Tuhan sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya.[5]
Dalam kehidupan sehari-hari, apapun yang dilihat dan ditemukan manusia di jagad raya ini sebenarnya merupakan hamparan al-asmaa. Alam serta fenomena kehidupan di atasnya harus dibaca atau diperhatikan untuk dipahami, ditafsirkan dan kemudian dinilai. Dahulu, ketika Nabi Muhammad melihat kehidupan penduduk Makkah yang serba hedonis dan kapitalistik,  Beliau diminta oleh Tuhan untuk membaca realitas kehidupan sosial masyarakat sekitarnya saat itu. Dakwah Rasulullah agar orang mau meninggalkan permusuhan antar suku maupun perbudakan antar manusia dengan inti ajaran ketauhidan adalah cara dan sikap Rasul memahami, manafsirkan dan menilai serta mengoreksi ketidak-benaran realitas “bacaan” kehidupan kapitalistik masyarakat Makkah. Oleh sebab itu, persoalan penting dari sekedar membaca adalah pencarian akan makna kebenaran dan kemudian diikuti dengan tindakan dalam mengartikulasikannya. Ketika memberikan kata pengantar buku terjemahan karya Gregory Baum, Amin Abdullah sependapat dengan pemikiran ekstrim Baum bahwa kebenaran tidak lagi bermain dalam area salah atau benar. Melainkan sampai sejauh mana artikulasi kebenaran itu sanggup mengentaskan umat manusia dari ketertindasan dan lingkaran ideologis yang sempit dan penuh dengan permusuhan.[6]
Apa yang menjadi pemikiran Baum tentang kebenaran tidak lagi bermain pada wilayah salah dan benar tidak sepenuhnya bisa diterima. Sebab bisa jadi penilaian Baum lebih didasari oleh karena massifnya penggunaan bahasa untuk memanipulasi term salah dan benar dengan cara melakukan pembenaran atau melegitimasi kepentingan ideologi tertentu dan bukan pada makna hakiki kebenaran itu sendiri. Dalam sejarah kehidupan umat manusia, hal seperti ini memang sering terjadi. Lihatlah jargon state and nation yang telah memberikan legitimasi kebenaran bahwa kepentingan negara-bangsa Indonesia berbeda dengan kepentingan negara-bangsa Malaysia. Sehingga tidak aneh bila pemerintah Malaysia pada tahun 2002 lalu mengusir TKI dari negaranya. Tidak aneh pula bila kelaparan di negara-negara benua Afrika dianggap sebagai urusan pemerintah setempat, serta masih banyak lagi daftar kepentingan atas nama negara-bangsa yang memasung hakikat makna salah dan benar di tengah kehidupan manusia. Definisi negara-bangsa berdasarkan wilayah teritorial dan politik telah mereduksi kepentingan manusia hanya sebagai bangsa suatu negara dan bukan manusia sebagai manusia.
Hal yang sama dapat juga diketemukan dalam kehidupan ekonomi. Prinsip ekonomi “sekecil-kecilnya untuk mendapatkan sebesar-besarnya” seakan memberi legitimasi kebenaran bahwa maksimalisasi keuntungan adalah faktor utama mengapa manusia berekonomi. Atas dasar itu, tak heran bila seorang pengusaha seringkali mengeksploitasi buruhnya dengan cara menekan upah seminimal mungkin demi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Propaganda liberalisasi ekonomi dengan “pasar bebas” adalah contoh menarik betapa penggunaan bahasa telah berhasil memanipulasi kebenaran untuk menutupi realitas ketidakberdayaan manusia yang -bukan atas kehendaknya- dilahirkan dan hidup di negara dunia ketiga. Pada kasus-kasus tersebut, pengaruh bahasa ternyata dapat lebih berbahaya dan mematikan bagi umat manusia bila dibandingkan dengan senjata.
Berdasarkan realitas contoh kehidupan politik dan ekonomi di atas, bagaimanapun juga rumusan benar dan salah secara formil harus tetap ada. Terutama sebagai standar penilaian keadilan jangka pendek manusia terhadap keberadaan hukum yang dibutuhkan untuk mengatur serta menjamin hak dan kewajiban atau martabat seorang manusia. Tidak dapat dibayangkan bagaimana jadinya bila hukum sebagai sebuah peraturan bagi umat manusia dibuat tanpa ada kualitas nilai salah dan benar. Apakah keadilan akan tercapai hanya dengan melihat tujuan dari konsep salah dan benar? Bukankah untuk sampai pada poin tersebut manusia harus terlebih dahulu melalui jalur formalisasi salah dan benar dalam bentuk hukum yang menjamin adanya kepastian hak serta kewajiban manusia demi kemaslahatan hidup bersama?
Hanya karena setiap orang memiliki perbedaan konsep dalam memandang benar salahnya suatu persoalan, maka langkah yang harus ditempuh kemudian adalah konsensus atau usaha untuk menggagas konsep benar dan salah secara sosiologis atas dasar keadilan dengan mengedepankan kepentingan bersama umat manusia. Hal ini berarti bahwa rumusan tentang benar dan salah dalam bentuk hukum harus diupayakan semaksimal mungkin guna mengantisipasi persoalan riil umat manusia. Tetapi harus pula diingat bahwa rumusan benar dan salah untuk jangka pendek atau bunyi hukum yang mengatur tentang boleh tidaknya suatu perbuatan manusia, harus dibuat dengan memperhatikan tujuan jangka panjang atau idealisme hukum yang tidak lain ditujukan demi kesejahteraan hidup umat manusia. Ringkasnya, bunyi hukum mengenai benar dan salah tidak boleh tidak ada. Tetapi  sekalipun demikian, bunyi hukum tidak boleh dibuat atas dasar idealisme hukum yang hanya berpihak pada kepentingan segelintir manusia.
Menurut ajaran Islam, al-Qur’an menduduki peran sentral sebagai sumber pengetahuan yang kebenarannya telah dijamin oleh Tuhan dan merupakan buku petunjuk bagi orang bertaqwa. Pesan-pesan moral serta nilai sosial kemasyarakatan di dalamnya mempunyai makna signifikan lebih dari sekedar aspek legal formal yang biasa diilustrasikan dalam bentuk simbol-simbol keagamaan. Sebab pada masa diturunkan dahulu, al-Qur’an merupakan wujud respon Tuhan terhadap kejadian atau persoalan sosial ketika itu. Hanya saja perlu disadari, karena al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad sebagai penutup peran keNabian sebelumnya, maka keberadaan simbol al-Qur’an ketika merespon kejadian saat itu serta idealisme peruntukan al-Qur’an bagi seluruh umat manusia tanpa ikatan ruang dan waktu adalah realitas unik yang harus dipahami oleh manusia secara utuh. Terutama bila dilihat dari uslub atau gaya bahasa dengan kualitas balaghahnya.
Berkaitan dengan keunikan uslub al-Qur’an tersebut, dalam terminologi ilmu hukum dikenal dua segi penafsiran yang berhubungan erat dengan isi hukum yaitu tersurat dan tersirat atau bunyi hukum dan semangat hukum. Seandainya kedudukan al-Qur’an dengan seluruh legalitas formal hukum di dalamnya dapat disebut sebagai kitab hukum, maka simbol al-Qur’an menempati posisi tersurat atau bunyi hukum. Sedangkan posisi tersirat atau semangat hukum ada pada idealisme al-Qur’an. Sebagaimana juga ilmu hukum, keberadaan simbol dan idealisme al-Qur’an dalam ajaran Islam pun mengalami perdebatan serius dikalangan ulama. Hal ini dapat dilihat dari munculnya berbagai macam model penafsiran terhadap al-Qur’an, seperti tafsir bi al-riwayah (bi al-ma’tsur) dan tafsir bi al-dirayah (bi al-ra’yi dan bi al-isyari). Pada pembahasan filsafat hermeneutika, penggunaan bahasa yang sering menimbulkan perdebatan memang bukan persoalan baru. Mengingat bahasa merupakan sebuah ekspresi. Apalagi bila bahasa yang diperdebatkan adalah bahasa dari suatu kitab suci agama. Oleh sebab itu, persoalan penting dari eksistensi bahasa adalah bagaimana seseorang dapat memahami bahasa tersebut dengan tepat (subtilitas intellegendi) dan sekaligus menjabarkannya dengan benar (subtilitas explicandi).[7]
Salah satu penggunaan simbol al-Qur’an yang paling mendasar adalah bahasa Arab sebagai media utama penyampaian wahyu Tuhan (Q.S. Yusuf: 2). Tentang mengapa dan kenapa harus berbahasa Arab barangkali sambil guyon bisa dijawab, karena al-Qur’an diturunkan ditengah kehidupan bangsa Arab. Tetapi untuk menjawab dan mengetahui secara serius kelebihan bahasa Arab yang digunakan al-Qur’an bagi kehidupan sosial umat manusia sebagaimana pesan dalam ujung ayat surat Yusuf di atas, mungkin sangat sulit untuk dilakukan. Meskipun jutaan kepala ahli fiqih yang notabene fasih berbahasa Arab telah berupaya semaksimal mungkin mengupayakannya sejak beberapa abad silam. Perbedaan pendapat mereka menyangkut pesan-pesan moral ketuhanan dalam al-Qur’an sehingga melahirkan banyak ragam mazhab pemikiran adalah bukti betapa sulitnya memahami bahasa Arab al-Qur’an. Bahkan tak urung hal itu terjadi semata-mata karena perbedaan mereka saat memaknai satu huruf pada sebuah ayat. Tidak aneh bila seorang profesor sekaliber Quraish Shihab ketika menyingkap tabir Ilahi melalui pemahaman terhadap Asma-Nya memohon ampun terlebih dahulu kepada Tuhan karena khawatir akan berbuat salah. Alasannya tidak lain adalah sulitnya mencari padanan kosakata al-Qur’an pada bahasa lain. Kalaupun bisa, hal itu hanya bersifat nisbi sekedar untuk membantu memahami makna sesungguhnya.[8] Hal seperti inilah yang kemudian juga menjadi sebab mengapa kitab suci al-Qur’an selalu ditulis menurut bahasa aslinya. Sebab terjemahan al-Qur’an disamping tidak dapat lagi disebut al-Qur’an juga dikhawatirkan dapat merubah makna al-Qur’an itu sendiri.
Simbol-simbol lain yang juga tidak kalah penting untuk dipahami manusia adalah redaksi kalimat Tuhan ketika merespon suatu kejadian atau memerintahkan kepada para hamba-Nya untuk melakukan maupun melarang suatu perbuatan. Entah melalui terminologi amar-nahy dengan segala bentuk sighat dan derivasi maknanya maupun dengan penggunaan simbol halal-haram. Demikian pula pembagian kalam khabar-kalam insya’, majaz-kinayah, `am-khas, mujmal-mufashal, muhkamat-mutasyabihat adalah beberapa contoh penggunaan simbol yang mutlak harus dapat dipahami oleh manusia jika ingin sungguh-sungguh mendapatkan kebenaran informasi terhadap maksud dari isi kandungan pesan-pesan moral al-Qur’an.
Lima ayat pertama surat al-`Alaq yang diterima Rasulullah sebagai wahyu pertama di gua Hira mungkin dapat dijadikan sebagai ilustrasi untuk mengetahui bagaimana awal mulanya bahasa al-Qur’an diperkenalkan kepada umat manusia, terutama ketika merespon realitas persoalan hidup di antara mereka. Pada ayat-ayat tersebut Allah SWT berfirman:
Artinya:
“Bacalah (ya Muhammad) dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Telah menciptakan manusia dari segumpah darah. Bacalah dan Tuhanmu amat pemurah. Yang mengajarkan manusia dengan pena. Yang mengajarkan manusia apa-apa yang tidak diketahuinya”.

Sebagaimana terlihat di atas, ayat tersebut dimulai Allah dengan mempergunakan lafazh iqra’ dalam shighat (bentuk) fi`il amar (kata kerja perintah) untuk waqe’ (posisi) mufrad mudzakar mukhathab (orang pertama laki-laki tunggal) yang berasal dari lafazh qara-a dan biasa diterjemahkan dengan “bacalah”. Menurut kamus al-Munjid, selain bermakna melafalkan sebuah tulisan, lafazh qara-a-yaqra’u-qur’an dapat juga bermakna thala`a atau meneliti sebuah tulisan. Pengertian meneliti pada lafazh qara-a dapat diperluas lagi maknanya dengan melihat bentuk (shighat) lafazh qara-a lain yang mendapat huruf imbuhan (huruf ziyadah) berupa alif, sin dan ta’ menjadi kata istaqra’a. Pola kata kerja dasar dengan tambahan huruf sehingga menjadi kata berimbuhan ini menurut para ahli sharaf dapat merubah makna kata dasar qara-a menjadi makna thalabiyah atau permintaan, yakni permintaan untuk meneliti. Dari bentuk terakhir ini kemudian lahir lafazh “istiqra” yang dipergunakan oleh para ahli mantiq (logika) sebagai suatu istilah untuk membuat suatu kesimpulan terhadap hasil sebuah penelitian.[9]
Kajian mengenai makna lafazh iqra’ bila dikonfirmasikan dengan konteks pewahyuan sebagaimana dialami oleh Rasulullah SAW di gua Hira, yakni ketika tokoh-tokoh kafir Quraisy menjadikan kekayaan dan kekuasaan sebagai status quo yang menyebabkan keberadaan seseorang hanya diukur berdasarkan tingkat kekayaan dan kekuasaan, maka dengan sendirinya lafazh iqra’ cenderung bermakna penelitian. Kesimpulan ini juga didukung oleh data faktual bahwa pada saat itu Rasulullah tidak menerima wahyu dalam bentuk teks tertulis. Oleh sebab itu, perintah Allah SWT pada lafazh iqra’ berarti perintah untuk “membaca realitas” kehidupan kapitalistik kaum kafir Quraisy yang tidak mencerminkan keadilan sosial dan menjadi pokok pangkal tumbuhnya sistem perbudakan serta peperangan antar suku. Bila umat Islam mau merujuk pada sejarah pewahyuan ini, maka sesungguhnya ajaran Islam itu dimulai dengan iqra’ demi mengasah kepekaan dan kemampuan untuk menyelesaikan problematika sosial di sekeliling mereka. Tentu saja guna mencapai maksud tersebut dibutuhkan usaha pemberdayaan diri secara maksimal. Dalam konteks ini, kewajiban mencari ilmu bagi setiap umat Islam menemukan format dan tujuan idealnya.
Seperti banyak diceritakan dalam sejarah Islam, proses belajar Muhammad dimulai dan dibentuk selama beliau berkhalwat di gua Hira. Terutama setelah turunnya wahyu pertama yang memintanya untuk tidak saja aktif mengamati realitas kehidupan masyarakat kapitalistik Makkah tetapi juga dituntut untuk dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada. Hal ini dapat dibuktikan melalui pemahaman terhadap pesan moral pada wahyu berikutnya. Dimana Muhammad kemudian diperintahkan untuk bangun dan memberi peringatan (qum fa-‘andzir). Dengan demikian, jawaban Muhammad “ma ana bi-qari’in” terhadap perintah “iqra’” sebenarnya merupakan wujud kesadaran bahwa beliau tidak dalam kapasitas sebagai qari’ atau dalam hal ini peneliti dengan segala kualifikasi ilmu pengetahuan tentang kriteria atau ukuran obyektif untuk menilai sistem sosial masyarakat Makkah yang dibangun atas dasar kekayaan dan kekuasaan sehingga menimbulkan permusuhan antar suku serta perbudakan manusia. Namun demikian, setelah tiga kali Rasulullah mengatakan bahwa dirinya bukanlah seorang qari’ atau seorang peneliti, barulah Jibril sebagai mala’ikat pembawa wahyu memberikan jaminan bahwa Tuhan akan memberikan bimbingan dan ajaran bagi Rasulullah untuk menilai apa yang tidak diketahuinya berdasarkan kriteria Tuhan, sebagaimana tercermin dalam ayat 4-5 surat al-`Alaq tersebut. Menurut tinjauan filsafat, apa yang dialami Rasulullah kala itu sebenarnya merupakan ilustrasi metode ilmiah dari epistemologi ajaran Islam dalam menilai sekaligus memberikan solusi setiap persoalan sosial masyarakat dan sangat erat hubungannya dengan makna pendidikan.[10]
Berkaitan dengan proses penilaian suatu obyek penelitian sebagaimana diajarkan Tuhan kepada Muhammad ketika meneliti penggunaan harta kekayaan dan kekuasaan kaum kafir Quraisy saat mengatur sistem kehidupan sosial ekonomi masyarakat Makkah, apa yang disampaikan oleh Nana Sudjana mengenai arti penilaian mungkin dapat menjelaskan betapa pentingnya kriteria obyektif penilaian bagi sebuah penelitian. Menurutnya:
“Ditinjau dari sudut bahasa, penilaian diartikan sebagai proses menentukan nilai suatu obyek. Untuk dapat menentukan suatu nilai atau harga suatu obyek diperlukan adanya ukuran atau kriteria. Misalnya untuk dapat mengatakan baik, sedang, kurang, diperlukan adanya ketentuan atau ukuran yang jelas bagaimana yang baik, yang sedang, dan yang kurang. Ukuran itulah yang dinamakan kriteria. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa ciri penilaian adalah adanya obyek atau program yang dinilai dan adanya kriteria sebagai dasar untuk membandingkan antara kenyataan atau apa adanya dengan kriteria atau apa seharusnya”.[11]

Dengan demikian, masih menurut Nana Sudjana, inti penilaian adalah proses memberikan atau menentukan nilai kepada obyek tertentu berdasarkan kriteria tertentu. Proses pemberian nilai ini berlangsung dalam bentuk interpretasi dan diakhiri dengan judgment.[12] Hanya saja perlu ditekankan di sini bahwa penilaian Rasulullah terhadap realitas tidaklah sama dengan interpretasi manusia yang sangat mungkin terkontaminasi oleh kepentingan politik dan ekonomi sesaat atau hawa nafsu. Hal ini sesuai dengan Firman Tuhan:
Artinya:
“Tiadalah ia berbicara menurut hawa nafsunya. Ia (al-Qur’an) tidak lain, hanya wahyu yang diwahyukan kepadanya”.

Karena itu interpretasi dan juga judgement manusia untuk menilai realitas kehidupannya tidaklah berlaku mutlak. Melainkan terbatas oleh ketentuan kriteria hukum Tuhan melalui wahyu-Nya kepada Rasulullah sebagai satu-satunya Dzat yang memiliki otoritas kebenaran mutlak dalam menilai dan memutuskan benar tidaknya suatu perbuatan.
C. Penutup
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan berbantahlah dengan mereka melalui cara yang baik” (QS: An-Nahl ayat 125)






[1] radiobuku.com/2010/11/literasi-memenangi-kehidupan
[2] Termasuk hal yang paling fundamental dalam persoalan ini adalah penggunaan lafadz Jalalah Allah sebagai nama bagi Tuhan yang diambil dari sebutan orang Arab jahiliyah kepada tuhan-tuhannya. Walaupun kemudian keberadaan “Allah” ini dipertegas pada surat al-Ikhlas, setidaknya hal tersebut memperlihatkan bahwa Allah menggunakan simbol-simbol yang ada pada saat itu sebagai alat untuk memperkenalkan ajaran Islâm di tengah bangsa Arab jahiliyah.
[3] Hal ini pula yang membuat Mohammed Arkoun mau “bersusah payah” untuk menjelaskan bahwa keberadaan Mushaf Utsmani sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kebekuan ideologis dan teologis yang sangat terikat oleh ruang dan waktu sejarah sosial umat manusia. Dalam ucapan yang penulis kutip dari artikel St. Sunardi “Membaca Qur’an bersama Mohammed Arkoun” yang dinukil dari “Explorations and Responses: New Perspektives for a Jewish-Cristian-Muslim Dialogue” Arkoun menyatakan: This is extremely important: it refers to many historical facts depending on social and political agents, not on God. Johan Hendrik Meuleman, (ed), Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme, (Yogyakarta: LKiS, 1996), hal. 63-64.
[4] Ketika mengomentari perihal penafsiran manusia yang bersifat relatif terhadap klaim keuniversalan al-Qur’ân yang melewati batas ruang dan waktu, Komarudin Hidayat berpendapat, “perlu ditekankan kembali di sini, relativisme tidak berarti nihilisme dan kesewenang-wenangan dalam memahami al-Qur’ân, melainkan lebih bersifat positif, karena relativisme berarti juga terpeliharanya suasana dinamis, demokratis, dan dialogis dalam memahami dan menggagas makna serta spirit al-Qur’ân”. Komaruddin Hidayat, Op.cit., hal. 214.
[5] Peryataan ini dikembangkan dari sûrat al-Baqarah ayat 30-34 berkaitan dengan penciptaan dan pengangkatan Adam sebagai khalîfah di muka bumi.
[6] Gregory Baum, Agama dalam Bayang-bayang Relativisme, terj. Ahmad Murtajib dan Mashury Arow, (Yogyakarta: Tiara Wacana dan Sisipus, 1999), hal. xxiii
[7] E. Sumaryono, Hermeneutik sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hal. 23-33.
[8] M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi: Asma al-Husna dalam Perspektif al-Qur’ân, (Jakarta: Lentera Hati, 1998), hal. vii - x.
[9] Lois Ma`luf, al-Munjid Fî al-Lughah wa al-a‘lâm, (Bierut:Daar al-Masyriq, 1986), hal. 616-617.
[10] Dalam hal ini, Jujun dengan mengutip pendapat Ritchie Calder mengungkapkan bahwa proses kegiatan ilmiah dimulai ketika manusia mengamati suatu obyek empirik. Pengamatan ini biasanya dilakukan oleh manusia karena ia mempunyai perhatian dengan obyek tertentu yang menurut John Dewey menjadi sebuah kesukaran bila dalam pengamatan tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hal. 121.
[11] DR. Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), cet. Kelima, hal. 3.
[12] I b I d.

Baca Lebih Lanjut --->>
 
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA DI WEBSITE INI, KRITIK DAN SARAN SILAHKAN TULIS DI BUKU TAMU !!!